KERAJAAN TALAGA

Minggu, 10 November 2013

KERAJAAN TALAGA: Silsilah yang Tumpang Tindih

Ihwal sajarah Kerajaan Talaga itu ternyata masih simpangsiur. Pertama, karena tidak ada naskah baku (prasasti) dan peninggalan sejarah lainnya. Kedua, karena naskah yang ada yang hanya “sekedar catatan ingatan” pun yang berupa semacam “Wawacan Talagamanggung” pun tidak pernah dimunculkan ke permukaan secara utuh. Jadi, setiap penulis akhirnya menulis menurut “sumber-sumber yang tidak layak dipercaya,” dan menyebar menjadi “hutan belantara leuweung ganggong, sima ganggong, penuh dengan akar-akaran yang berserabutan ke sana kemari.”
Andai dicoba ditelaah cermat oleh suatu tim, dengan membaca juga “dongeng Panjalu,” dongen “Sumedang,” dongeng Rajagaluh, dongeng Cirebon,” dongen Kawali dsb. Mungkin akan agak lain. Jangan lupa baca juga dengan cermat Wawacan Bujangga Manik karena padanya antara lain nama Walangsuji dan Talaga disebut-sebut oleh Prabu Jaya Pakuan (pelancong penulis geografi Indonesia). Tentu baca komentar juga tentangnya dari berbagai penafsir.
Yang tak kalah penting adalah coba “cross-check” tahun-tahun peristiwa, adakah yang saling bertentangan (mustahil). Jika A sejaman dengan B, maka mustahil A berada tahun X sementara B pada tahun Y. Jika A merupakan anak keturunan jauh dari  B, maka tak mungkin B berada pada tahun-tahun sejaman dengan A.
Nah, karena secara “internasional” Wikipedia banyak dijadikan rujukan, maka “kisah Kerajaan Talaga” yang ada di Wikipedia itu yang pertama-tama akan dinukil. Ini ceriteranya tentang “Majalengka, Majalengka.” Sebagian “harus diedit” oleh Penulis agar tidak kacau balau dari segi tuturan maupun sistematika. Secara internal saja, di dalamnya banyak yang kontradiksi. apalagi jika dibandingsilangkan dengan artikel-artikel berikutnya.
Cag, pigaweeun!
Artikel I [Wikipedia]

Zaman Kerajaan Hindu di Talaga

Pemerintahan Batara Gunung Picung

Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi. Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh yang bertahta di Ciamis. Beliau adalah putera V, yang masih ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran, di antaranya yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Daerah kekuasan Kerajaan Talaga meliputi wilayah-wilayah yang sekarang disebut dengan Talaga (dan Banjaran), Cikijing (termasuk Cingambul), Bantarujeg, Lemahsugih, Maja (termasuk Argapura) dan bagian selatan Majalengka (Cigasong dan Girilawungan).
Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik. Agama yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km, tepatnya jalur jalan Talaga – Salawangi di daerah Cakrabuana. Pembangunan lainnya berupa perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi semua saluran pengairan di daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu (16 tahun).
Raja berputera 6 orang yaitu : (1)  Sunan Cungkilak, (2)  Sunan Benda, (3) Sunan Gombang, (4) Ratu Panggongsong Ramahiyang (ada yang menulis Pagongsong Romahiyang), (5)  Prabu Darma Suci I, dan (6) Ratu Mayang Karuna.
Setelah meletakkan jabatan,  pemerintahan Kerajaan Talaga selanjtunya dilanjutkan oleh Prabu Drama Suci I.

Pemerintahan Prabu Darma Suci I

Prabu Darmasuci I disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam masa pemerintahannya (abad XIII) agama Hindu berkembang dengan pesat. Nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga. Apakah kunjungan tamu-tamu tersebut merupakan hubungan kekeluargaan saja, ataukah ada hubungan perdagangan atau politik, tidak banyak diketahui.
Peninggalan yang masih ada dari Kerajaan Talaga masa pemerintahan Prabu Darmasuci I ini antara lain benda-benda perunggu, gong, dan harnas atau baju besi.
Pada abad XIV Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni: (1) Bagawan Garasiang, dan (2) Sunan Talaga Manggung.

Pemerintahan Sunan Talaga Manggung [Sic.: Bagawan Garasiang]

Sepeninggal Prabu Darmasuci I, tahta kerajaan dipangku oleh Begawan Garasiang, tetapi hanya sebenatar saja. Beliau sangat mementingkan kehidupan keagamaan sehingga akhirnya tahta Kerajaan Talaga diserahkan kepada adiknya yang beranama Sunan Talaga Manggung.
Tak banyak yang diketahui dari masa pemerintahan Bagawan Garasiang selain kepindahan beliau dari Talaga [baca: Sangiang Talaga--Pen.] ke daerah Cihaur Maja. [Catatan: Menurut sumber lain Raja ini dimakamkan di Pasir (bukit) Garasiang di atas "situ" Sangiang Talaga].

Pemerintahan Sunan Talaga Manggung

Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan, serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Beliau berputera dua, yaitu : (1) Raden Pangrurah, dan (2) Ratu Simbarkancana.
Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung (menantunya–Pen.] yang bernama Centangbarang, tanpa diketahui oleh Ratu Simbarkancana dan masyarakat luas. Kemudian, karena Palembang Gunung merupakan menantu  Talaga Manggung (memperisteri Ratu Simbar Kancana), maka Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung sebagai raja.
Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana yang sudah tahu akan pengkhianatan Plembang Gunung dari hulubalang Citrasinga (atas dorongan Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu), membunuh Palembang Gunung dengan tusuk konde sewaktu ia tidur. Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu, keturuan Galuh (Kawali-Panjalu) dan dianugrahi 8 orang putera, diantaranya yang terkenal sekali adalah putera pertamanya yang bergelar Sunan Parung.

Pemerintahan Ratu Simbarkencana

Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahan Ratu Simbarkancana agama Islam sudah mulai menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para santri dari Cirebon.
Pusat pemerintahan waktu itu oleh Ratu Simbarkancana dipindahkan dari “Sangiang Talaga” ke suatu daerah disebelah utaranya yang bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih [dusun Kagok, Kecamatan Banjaran sekarang]. Setelah wafat, Ratu Simbarkancana digantikan oleh puteranya yang bergelar Sunan Parung.

Pemerintahan Sunan Parung

Masa pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya perwakilan pemerintahan yang disebut “kadaleman,” masing-masing “kadaleman” dikepalai oleh seorang Dalem (putra-putranya sendiri).  Kadaleman dimaksud antara lain Kadaleman Kulur, Sindangkasih [dalam ceritera lain Girilawungan; tidak ada Sindangkasih--ini akan kontroversi dengan "dongeng" Kerajaan Sindangkasih Nyi Rambut kasih], dan Jerokaso Maja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.

Pemerintahan Ratu Sunyalarang

Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri yang kemudian bergelar Prabu Pucuk Umum Talaga [adaRatu Pucuk Umum Sumedang!].
Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum pun memeluk agama Islam. Oleh karena itulah (menurut ceritera lain) Raden Rangga Mantri oleh Sunan Gunung Jati diberi gelar Prabu Pucuk Umum Talaga. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka [Stop: Rajagaluh bukan bagian dari Kerajaan Talaga;  sementara "Majalengka" tidak tersebut-sebut dalam ceitera Talaga yang manapun--kecuali untuk menyebutkan "yang sekarang termasuk wilayah Majalengka). Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama IslamHubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV. Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Kerajaan Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.

Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum

Dari pernikahanRatu Parung (Ratu Sunyalarang) dengan  Raden Rangga  lahir 6 orang putera yaitu : (1) Prabu Haurkuning, (2)  Sunan Wanaperih, (3)  Dalem Lumaju Agung, (4) Dalem Panuntun, (5) Dalem Panaekan, (6) [dari ceritera lain] Sunan Umbuluar Santoan Singandaru.
Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam. Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di beberapa daerah wilyah Kerajaan Talaga, yaitu: (1) Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walangsuji; (2) Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja; (3) Dalem Panuntun di Majalengka [Girilawungan], (4)  Prabu Haurkuning di Talaga–yang selang kemudian di Ciamis dan kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati di Ciamis, (5) Dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk, Cibodas dan Kulur. Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.

Pemerintahan Sunan Wanaperih

Sunan Wanaperih seperti orang tuanya sudah memeluk agama Islam. Hampir seluruh rakyat di kerajaan ini juga telah memeluk agama Islam. Beliau berputera 6 orang, yaitu : (1) Dalem Cageur, (2) Dalem Kulanata, (3) Apun Surawijaya atau Sunan Kidul, (4) Ratu Radeya, (5) Ratu Putri, (6)  Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur, dan kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul.
Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji. Ketika beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, pusat pemerintahan kembali ke Talaga (“Sangiang Talaga”–atau Parung alias “Curug Campaga”?–Pen.).
Pemerintahan Apun Surawijaya
Apun Surawijaya (pengeran Surawijaya)  bergelar Pangeran Ciburuy atau  Sunan Ciburuy. Beliau menikah dengan putri Cirebon yang bernama Ratu Raja Kertadiningrat, saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon. Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak, yaitu: (1) Dipati Suwarga, (2)  Mangunjaya, (3) Jaya Wirya, (4) Dipati Kusumayuda, (5) Mangun Nagara [dalam tulisan lain disebut Raden Barzah Mangunnagara bergelar Mangkubumi---diperkirakan dimakamkan di bukit Mangkubumi, Maja), (6) Ratu Tilarnagara.
Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning.
Pemerintahan Dipati Suwarga
Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga [?--Lihat bawah!]yang menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu Pangeran Dipati Wiranata dan Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji.
Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata [?--Lihat atas!] dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962. Pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali, hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.
Artikel II: [Wacana Nusanatara]
Talaga
Tim Wacana Nusantara
11 May 2009
Pengetahuan kita tentang kerajaan-kerajaan klasik pra Islam di Jawa Barat mungkin terbatas pada Tarumanagara dan Sunda (Pajajaran) atau Galuh. Hal tersebut tak bisa dipungkiri, memang, karena sumber-sumber primer tentang kerajaan-kerajaan tersebut ada, meski itu pun masih terbatas.
Pemahaman kesejarahan kita akan Kerajaan Talagamanggung (selanjutnya disebut Kerajaan Talaga saja) rupanya cukup gelap. Kita tak memiliki sumber sejarah yang utuh dan kuat mengenai keberadaan kerajaan ini, kecuali sumber sekunder yakni Babad Talaga dan beberapa tradisi lisan (legenda) yang tersebar di masyarakat setempat, yakni masyarakat Kacamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Padahal, keberadaan kerajaan ini terkait erat dengan Kerajaan Galuh, salah satu kerajaan terbesar di Jawa Barat—selain Sunda-Pakuan—yang juga pernah secara bergilir menjadi pusat/ibukota Kerajaan Sunda.
Masa Klasik

Batara Gunung Picung, Pendiri Kerajaan Talagamanggung
Kerajaan Talaga terletak di lereng Gunung Ciremay bagian selatan di Desa Sangiang, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka. Kerajaan Talaga didirikan Batara Gunung Picung, putra keenam dari Ratu Galuh yakni Ajar Sukaresi (Maharaja Sakti Adimulya) yang memerintah di Galuh tahun 1252 -1287 M.
Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri memiliki delapan anak dari istri-istri yang berlainan. Putra-putri Ajar Sukaresi itu adalah:
  1. Prabu Hariangbanga;
  2. Maharajasakti, yang menurunkan raja-raja di Pajawan;
  3. Prabu Ciungwanara (1287-1303 M);
  4. Ratu Ragedangan;
  5. Prabu Haurkuning, bergelar Maharaja Ciptapermana I (1580 -1595 M);
  6. Batara Gunung Picung, bergelar Ciptapermana II (1595 -1618), pendiri Talaga;
  7. Ratu Permana Dewa;
  8. Bleg Tamblek, Raja Kuningan.
Batara Gunung Picung (Ciptapermana II) sendiri, memiliki keturunan, yakni:
  1. Sunan Cungkilak;
  2. Sunan Benda;
  3. Sunan Gombang;
  4. Ratu Ponggang Sang Romahiyang;
  5. Prabu Darmasuci I.
Prabu Darmasuci I
Setelah Batara Gunung Picung lengser, takhta Talaga dipegang oleh putra bungsunya, yakni Prabu Darmasuci I. Prabu Darmasuci ijni memunyai dua orang putra, yaitu: Bagawan Garasiang dan Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung).
Bagawan Garasiang, putra sulung Prabu Darmasuci I, dikenal sebagai orang yang gemar bertapa, sehingga ia dikenal juga sebagai Bagawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang diberi nama Pasir Garasiang, terletak di perbatasan antara Kecamatan Argapura dengan Kecamatan Talaga sekarang.
Bagawan Garasiang memiliki putri bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putra Prabu Siliwangi (Raden Pamanah Rasa) dari Pajajaran. Pernikahan kekeluargaan natara Putri Talaga dengan Putra Pajajaran ini merupakan langkah politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan kerajaan.
Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung)
Ketika memerintah, Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bertempat di Talaga. Keratonnya sendir terletak di Sangiang. Pada masa pemerintahannya, Talaga mengalami kemajuan yang pesat. Secara sosial-ekonomi masyarakatnya semakian mapan. Oleh karena itu, banyak orang dari negara dan daerah lain kemudian menetap di Talaga.
Menurut cerita tutur, Prabu Talagamanggung adalah seorang narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak mempan ditembus senjata). Ia memunyai sebuah senjata pusaka bernama Cis, berbentuk seperti tombak kecil. Konon, ketika lahir ia tidak memiliki pusar dan Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus oleh senjata Cis miliknya sendiri.
Prabu Talagamanggung memiliki seorang menantu bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung, suami Dewi Simbarkancana, yang diberi jabatan sebagai patih kerajaan.  Pada suatu kesempatan, Palembanggunung mengadakan gerakan rahasia untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Palembanggunung lalu meminta bantuan kepada seorang pengawal pribadi Sang Prabu Talagamanggung, bernama Centrangbarang (dinamai begitu karena ia ditugaskan mengurus senjata [barang]). Dari bantuan Centrangbarang, Palembanggunung berhasil mencuri senjata Cis, yang kemudian digunakan untuk menusuk Sang Prabu. Prabu Talagamanggung pun terluka dan akhirnya meninggal. Jenazahnya diurus sesuai ajaran Hindu Kahiyangan. Abu jenazahnya dilarungkan di Situ Sangiang. MenurutBabad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu, Prabu Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang), dan bekas keraton tersebut lalu menjadi Situ Sangiang sekarang. Selain Dewi Simbarkancana, Prabu Talagamanggung memunyai seorang putra, yakni Raden Panglurah.  Sejak kecil Raden Pangkurah rajin melatih diri di Gunung Bitung. Sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Majalengka. Ia bertapa di bekas pertapaan uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang. Raden Panglurah adalah seorang sosok putra raja yang meninggalkan kesenangan dunia dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan spiritual.Sayang, patung Raden Panglurah hingga kini tersimpah di Belanda, sedangkan patung Dewi Simbarkancana masih terawat baik di Talaga.
Dewi Simbarkancana
Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Talaga dikuasai oleh Palembanggunung.  Mulanya Dewi Simbarkancana, istri Palembanggunung, tidak mengetahui bahwa kematian ayahnya didalangi suaminya sendiri. Dewi Simbarkancana sangat terpukul, karena merasa dikhianati oleh suami sendiri—bahkan suaminyalah yang membunuh ayahnya. Akhirnya, Dewi Simbarkancana membalaskan dendamnya: membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya.
Setelah Palembanggunung meninggal, Raden Dewi Simbarkancana mengambil-alih takhta Talaga. Kendati seorang putri, beliau memiliki sifat-sifat kepemimpinan sang Ayah. Raden Dewi Simbarkancana pun menikah kembali, kali ini dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari Galuh, putra Prabu Ningratkancana. Raden Kusumalaya seorang yang masagi pangarti (cakap lahir-batin), seorang tabib sekalligus ahli strategi. Ia berhasil menumpas habis komplotan bawahtanah Palembanggunung. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil.
Pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya melahirkan delapan orang putra, yaikni:
1.    Sunan Parung (Batara Sukawayana);
2.    Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
3.    Sunan Gunung Bungbulang;
4   Sunan Cengal (Kerok Batok, petilasannya terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung  Cedas, Desa Angrawati, Kecamatan Maja- Majalengka;
5.    Sunan Jero Kaso;
6.    Sunan Kuntul Putih;
7.    Sunan Ciburang;
8.   Sunan Tegalcau, petilasanya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari, Kecamatan Maja.
Peristiwa tragis pembunuhan terhadap Prabu Talagamangung oleh Palembanggunung, menyusul peristiwa ngahiyang keraton Sangiang, mendorong Ratu Simbarkancana memindahkan pusat kerajaan. Ibukota pertama yang terletak di lereng Gunung Ciremay pun kemudian beralih ke wilayah Walangsuji, Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang.
Sunan Parung
Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putra sulungnya yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M).
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung)
Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya putrinya, Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putra Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Bagawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi (Sri Baduga Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung. Pusat pemerintahan di Walangsuji hanya bertahan selama tujuh tahun tiga bulan. Dewi Sunyalarang memandang bahwa Walangsuji  kurang strategis untuk terus dijadikan pusat pemerintahan.
Masa Islam
Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam
Pada 1529 Ratu Parung dan suaminya, Raden Ragamantri. mengucapkan syahadat. Mereka masuk agama Islam melalui Sunan Gunung Jati yang dibantu para mubalig Cirebon. Sunan Gunung Jati(Syarif Hidayatullah) lalu memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga.
Hasil pernikahan Ratu Parung (Dewi Sunyalarang) dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu:
  1. Prabu Haur Kuning;
  2. Aria Kikis, Sunan Wanaperih;
  3. Dalem Lumaju Ageng Maja;
  4. Sunan Umbuluar Santoan Singandaru;
  5. Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka;
  6. Dalem Panaekan.
Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung. Akan tetapi, demi keamanan dan pengikisan oleh air, makamnya dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikuray oleh Raden Acap Kartadilaga pada 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang. Kuburannya terletak di luar bangunan utama tempat penziarahan, persisnya di bawah pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan.
Perang Talaga Melawan Demak pada Masa Pemerintahan Arya Kikis
Sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putra kedua Ratu Parung pada 1550 M. Arya Kikis adalah seorang narpati dan pendakwah Islam yang handal. Ia mewarisi ilmu-ilmu kanuragan dan keislaman dari Sunan Gunung Jati. Salah satu cucunya adalah penguasa Cianjur, yakni Raden Aria Wiratanudatar (Dalem Cikundul).
Diawali dangan ikut campur Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan di sisi lain kondisi rakyat Talaga begitu memerlukan perhatian pemerintah, akhirnya permintaan Cirebon-Demak untuk menarik upeti dari Talaga diabaikan. Merasa tak dihiraukan, koalisi pasukan Cirebon-Demak tiba-tiba menyerang Talaga. Terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan Cirebon dan Demak.
Di medan jurit, walau prajurit-prajurit Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibandingkan jumlah serta kekuatan Cirebon-Demak, namun pasukan Talaga dengan penuh semangat terus mengadakan perlawanan. Akhirnya semua pasukan Cirebon-Demak dapat diusir ke luar dari wilayah Talaga.
Kesepakatan Keraton Ciburang
Usai Perang Talaga ini, Kanjeng Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah memerlukan untuk datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga. Kedatangannya malah disambut dengan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat Talaga serta Galuh Singacala.
Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh raja-raja Galuh beberapa waktu sebelumnya, Kanjeng Sinuhun Cirebon berucap: bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah, tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadi Perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.
Kemudian Syarif Hidayatullah mengizinkan Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya, yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami Islam. Sementara itu Kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri; ada pun kepemimpinannya diayomi oleh Sunan Gunung Jati.
Ada pun Sunan Wanaperih memunyai enam orang anak, empat orang putra dan dua orang putri. Mereka adalah:
  1. Dalem Kulanata Maja;
  2. Dalem Cageur Darma;
  3. Raden Apun Surawijaya;
  4. Nyi Ratu Radeya;
  5. Nyi Ratu Putri;
  6. Dalem Wangsagoparana.
Pemerintahan Raden Apun Surawijaya
Raden Apun Surawijaya memerintah Talaga sepeninggal ayahandanya, Arya Kikis, pada 1590. Ia seorang narpati Talaga yang gagah mandraguna dan sangat mencintai dan dicintai para pembantunya. Kegagahan dan wibawanya ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di Kampung Lemah Abang, Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka.
Raden Apun Surawijaya alias Sunan Kidul memunyai empat orang putra, yaitu:
  1. Dalem Salawangi;
  2. Sunan Cibalagung (Cianjur);
  3. Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy);
  4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje).
Ketika masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya, Kerajaan Talaga sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Meski demikian Sang Narpati Talaga tetap setia dan patuh pada “Kesepakatan Ciburang” yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan satu nenek moyang merekatkan tali persaudaraan dan kekeluargaan kedua kerajaan tersebut.
Sebagai seorang penguasa, Raden Apun Surawijaya berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani. Pada masanya berbagai bendungan irigasi dibangun.

Pemerintahan Raden Arya Adipati Surawijaya
Raden Arya Adipati Surawijaya (Sunan Ciburuy), putra ketiga Raden Apun Surawijaya, menjadi raja Talaga menggantikan ayahnya pada 1635 M. Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan, seorang senapati yang gagah dan berani.
Ia menikah dengan Ratu Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan Cirebon. Dari hasil pernikahan tersebut, Raden Arya Adipati Surawijaya dikaruniai lima orang putra dan satu orang putri, yakni:
1. Pangeran Adipati Suwarga;
2. Pangeran Jayawiriya;
3. Pangeran Kusumayuda;
4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);
5. anonim;
6. Ratu Puteri Tilanagara.
Pemerintahan Raden Adipati Suwarga
Selanjutnya Raden Arya Adipati Surawijaya digantikan adalah putra pertamanya, Pangeran Adipati Suwarga, yang naik tahta pada 1675 M. Pangeran Adipati Suwarga menikahi dua orang istri: Ratu Losari Cirebon dan Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal).
Dari pernikahannya dengan Ratu Losari, Pangeran Adipati Suwarga dikaruniai Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari Nyi Mas Jitra dikaruniai putra Pangeran Adipati Wiranata.

Talaga Menjadi Dua Kerajaan
Ketika Pangeran Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M. muncul protes dari putra Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Natadilaga merasa berhak untuk menjadi narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni:
1.     Kesultanan Talagakidul, dipimpin oleh Adipati Wiranata;
2.     Kesultanan Talagakaler, dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.
Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin kabupatian yang meliputi:
  1. Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putra ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;
  2. Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, cucu Pangeran Arya Natadilaga;
  3. Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putra ke-4 Pangeran Adipati Wiranata;
  4. Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, cucu Pangeran Adipati Jayawiriya.
Keempat bupati dari empat kabupatian Talaga itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa bersama-sama mengurus Talaga.
Penggabungan Kabupatian Talaga dengan Kabupatian Sindangkasih
Pada awal bada ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda, tepatnya pada 1806, menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian (kabupaten) dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni 1818 Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang dikenal sekarang.
Sesuai dengan rencana Hindia Belanda, pengggabungan dua kabupaten itu mengharuskan bupati pindah dari Talaga ke Majalengka. Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah selebar lima puluh bahu. Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga.

Pengubahan Status Bupati Talaga Menjadi Sesepuh Talaga
Karena sejak pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun (leluhur) Talaga. Disepakatilah bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang memunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika memunyai anak laki-laki maka pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.
Berikut adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para sesepuh Talaga:
  1. Pangeran Sumanagara (1820-1840), putra sulung Pangeran Arya Sacanata II;
  2. Nyi Raden Anggrek (1840-1865), putri Pangeran Sumanagara;
  3. Raden Natakusumah (1865-1895), putra Nyi Raden Anggrek;
  4. Raden Natadiputra (1895-1925), putra Raden Natakusumah;
  5. Nyi Raden Masri’ah (1925-1948), putri Raden Natadiputra;
  6. Raden Acap Kartadilaga (1948-1970), suami Nyi Raden Masri’ah;
  7. Nyi Raden Mardiyah (1970-1993), putri Daden Acap Kartadilaga;
  8. Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993-2001), putra Nyi Raden Mardiyah (menurut keturunannya: Nyi Raden Madinah);
  9. Raden Abung Syihabuddin (2001-sekarang), putra Raden Oo Mohammad Syamsuddin (menurut keturunannya: adik bungsu Raden Oo Mohammad Syamsuddin)